REALISME
Kerangka
Pemikiran Muĥammad Baqῑr al-Shadr
Makalah
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Kelompok pada Mata Kuliah
Filsafat
Islam Kontemporer
Oleh
Dhany
Ramdhany
109033100026
JURUSAN AQIDAH
FILSAFAT
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012 M
Pendahuluan
Tongkat
estapet tradisi intelektual Islam (filsafat)seolah di permukaan terputus, yaitu ketika Al-ghazali menyerang
habis-habisan para failasuf Muslim melalui magnum ovusnya Tahafut al-Falasifah Penyelesaian yang ditawarkan oleh al-Ghazali.
Begitu hebatnya, sehingga memukau dunia intelektual Islam dan membuatnya
seolah-olah terbius dan tak sadarkan diri, dan sejak itu umat Islam
terrkungkung dalam kamar sel Ghazalianisme. Umat Islam tidak akan mendapatkan
kembali dinamika intelektualnya jikatidak berhasil memecahkan sel Ghazalianisme
tersebut.[1]
kemudian al-Ghazầlῑ pun mendapatkan
serangan balik dari Ibn-Rusyd, sebagai
pembela kaum Failasuf melalui Tahafut
al-Tahafut. Dialektika pemikiran
Islam seolah telah selesai di tangan mereka, sehingga umat Muslim kehabisan stok untuk menghasilkan para failasuf selanjutnya.
Memang
benar, Langit tidak selalu cerah, akan tetapi badai pasti berlalu. Mungkin itulah perumpamaan yang tepat bagi
pasang surutnya dunia pemikiran Islam. Disaat dunia Islam mengalami degradasi
keilmuan intelektual dan dunia Barat mulai melakukan hegemoni dalam berbagai
aspek, di awal abad ke-20 lahirlah sosok Muĥammad Baqῑr al-Shadr
sebagai salah satu tokoh pembaharu
sekaligus sebagai seorang failasuf Islam.
Tradisi
intelektual Islam memang begitu sangat kaya, karena memadukan antara dua sumber utama dalam
menentukan kebenaran sebuah pengetahuan, yaitu melalui peranan akal atau rasio dan
kitab suci yaitu wahyu al-Quran. Sehingga dari tiadanya pemisahan antara
keduanya, perjalanan khazanah keilmuan dunia Islam tiada henti, dan pada setiap zamannya melahirkan sosok-sosok
yang dapat mewarnai dan mengubah dunia ini.
Dalam
kitab Falsafatuna yang dikarang oleh Muĥammad
Baqῑr al-Shadr , dijelaskan tentang kerangka
pengetahuan (epistemologi). Dari sisi
positif peran logika dan tradisi intelektual filosofis Islam, Muĥammad Baqῑr
al-Shadr mencoba melakukan sebuah
tela`ah dan kritikatas beberapa aliran filsafat yang dijadikan rujukan oleh
dunia modern ini, seperti rasionalisme, empirisme, meterialisme dan lain sebagainya.
Beliau berupaya untuk
menjelaskan landasan semua pola pemikiran itu dan ideologi-ideologi yang telah
melanda dunia Islam semenjak abad ke 19 dan yang telah menggelapi pandangan
Islam tentang realitas yang didasarkan pada supremasi Allah dan pengetahuan
yang membawa kepada-Nya. perlu dicatat bahwa tidak seperti para pembaharu Islam
dewasa ini, Muĥammad Baqῑr al-Shadr Muĥammad Baqῑr al-Shadr menegaskan akan pentingnya logika, perlunya kausalitas dan peran pemikiran filosofis
dan teologis yang tangguh, sehingga
mampu memerangi kekuatan-kekuatan sekularisme. [2]
Riwayat Hidup dan Latar
Belakang Sosial
Muĥammad Baqῑr al-Shadr
al-Sayyid Haydar adalah seorang ulama, sarjana, failasuf, dan salah satu tokoh politik revolusioner Irak.
Dia lahir di Kazmain, Baghdad, pada tanggal 25 Dzu al-Qa`dah 1353H/1 Maret
1935 M. dari keluarda religius dan
terpandang. Ayahnya, Haidar al-Shadr sangat dihormati dan merupakan
`alim Syi`ah peringkat tinggi. Daris
keturunannya kembali ke nabi Muhammad melalui imam Syi`ah yang ketujuh yaitu
musa khazim. Beberapa tokoh kenamaan juga
lahir dari keluardanya seperti Sayyid Shadr al-Din al-Shadr seorang marja`[3]di
Qum, Iran. Muhammad al-Shadr merupakan seorang pimpinan
religius yang memainkan perang penting dalam revolusi Irak melawan Inggris dan
mendirikan Haras al-Istiqlal (pengawal kemerdekaan) dan Musa al-Shadr merupakan
seorang pimpinan syi`ah di Lebanon.
[4]
Pada usia empat tahun, Muĥammad
Baqῑr al-Shadr kehilangan ayahnya dan kemudian diasuh oleh ibu dan kaka
laki-lakinya, Isma`il, yang juda seorang mujtahid ternama di Irak. Pada usia sepuluh tahun, dia mulai berceramah tentang sejarah Islam dan
beberapa aspek tentang kultur islam. Dia
sudah mampu menangkap wacana teolodis tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika berusia sebelas tahun, dia mengambil studi logika dan menulis buku
yang mengkritik para failasuf. Pada usia
empat belas tahun, kakanya mengajarkan Ushul `Ilm al-Fiqh (Asas asas Ilmu
tentang Prinsip-prinsip Hukum Islam). Pada usia enam belas tahun, Ia pergi ke Nazaf
untuk menempuh pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu Islam di
Universitas Nazaf al-Asyraf, Irak. Sekitar empat tahun kemudian, dia menulis ensiklopedi tentang Ushul Ghayah al-fikr fi al-Ushul (Pemikiran
Puncak dalam Ushul). Karya ini hanya
berhasil diterbitkan satu volume. Ketika
usia dua puluh tahun, dia mulai mengajar
bahst al-Kharij (tahap akhir Ushul)
dan fiqh. Dan pada usia tiga puluh tahun,
Muĥammad Baqῑr al-Shadr telah menjadi mujtahid. [5]
Karya Tulis
Berikut beberapa karya tulis yang
dilahirkan oleh Muĥammad Baqῑr al-Shadr .
v Al-Fatwa al-Wadhihah
(Fatwa yang Jelas)
v Al-Insan al-Mu`ashir wa
Al-Musykilah al-Ijtima`iyah ( Manusia Modern dan Problem
Sosial)
v Al-Ushul al-Mantiqiyah li
al-Istiqra (Asas-asas Logika dalam Induksi)
v Falsafatuna (Filsafat
Kita)
v Iqtishaduna
(Ekonomi Kita)
v Manabi` al-Qudrah fi Daulat
al-Islamiyah (Sumber-sumber Kekuasaan dalam Negara Islam)
v Manhaj ash-Shalihin
(Jalan Orang-orang Saleh)
Sumber Pokok
Pengetahuan[6]
Terjadi perdebatan
filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia, yang menduduki pusat permasalahan di dalam
filsafat, terutama filsafat modern. Pengetahuan manusia adalah titik tolak
kemajuan filsafat, untuk membina
filsafat yang kukuh, tentang semesta (universe) dan dunia. Jika sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria dan nilai-nilainya tidak
ditetapkan, tidaklah mungkin melakukan studi apa pun, bagaimanapun bentuknya.
Salah satu perdebatan
itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber dan asal-usul pengetahuan. Dengan meneliti, mempelajari dan mencoba
mengungkapkan prinsip-prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang dianugrahkan
kepada manusia. Dengan itu, ia dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut: bagaimana pengetahuan itu muncul dalam diri manusia? Bagaimana
kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk setiap pemikiran dan konsep-konsep
(notions) yang muncul sejak dini? Dan apakah sumber yang memberikan kepada
manusia arus pemikiran atau pengetahuan ini?
Pengetahuan manusia itu
terbagi atas dua bagian: tasawwur (konsepsi)
dan tashdiqi. Konsepsi dengan berbagai macamnya tidak
memiliki nilai objektif, sedangkan tashdiqi merupakan akan adanya realitas
objektif dari suatu konsepsi. Pengetahuan tashdiqi adalah yang mengungkapkan objektivitas suatu konsepsi dan
menandakan adanya suatu realitas objektif konsep yang ada di benak kita. Persoalan kemudian adalah sejauh mana
kesesuaian antara konsep mental dengan realitas objektif itu bisa dibenarkan?
Jawaban atas pertanyaan
di atas bahwa konsep mental yang kita bentuk tentang suatu realitas objektif
tertentu mengandung dua sisi. Dari satu
sisi, merupakan sesuatu yang
bereksistensi dalam benak kita dan merupakan suatu repersentasi dari keberadaan
sesuatu. Di sisi lainnya, ia berada secara mendasar dengan realitas
objektif. Jadi, itu merupakan suatu konsep mental yang kita
bentuk atas materi.
Dengan demikian, kita dapat menentukan sisi yang diambil dari
realitas objektif dan yang dinisbahkan kepada formulasi mental. Jadi, ide adalah objektif. Katena sesuatu itu terinterpretasikan di
dalamnya secara mental. Tetapi
dikarenakan pengelolaan dari subjeknya, sesuatu yang terinterpretasikan suatu mental
dalam bentuk itu kehilangan setiap efektivitas dan kegiatan yang dimilikinya di
dalam dunia luar. Perbedaan antara ide
dan realitas ini secara fisikal adalah perbedaan antara esensi (mahiyyah) dan eksistensi.
Filsafat Realisme : Idealisme, Materialisme dan
Teologi[7]
Sempat menjadi
perdebatan yang sangat menarik perhatian manusia Barat abad modern, yaitu
mengenai permasalahan realitas atau kenyataan yang memiliki nilai kebenaran itu
berlandaskan atas apa, kesadaran subjek,
atau fenomena objektif. Permasalahan ini
terus mendapatkan perhatian yang begitu spesial, terus berdialektis sehingga membentuk tradisi
filsafat yang disebut denganrealisme.
Ada beberapa aliran
filsafat yang memperbincangkan masalah kenyataan (realitas) yang diyakini
sebagai sumber kebenaran, yaitu idealisme, materialisme dan teologi. Pada aliran yang pertama, Ada beberapa pertanyaan dalam
membahas filsafat realisme, yaitu
sebagai berikut: “apakah alam dan segala darinya adalah realitas-realitas yang
ada (maujud) yang berdiri sendiri dan
terlepas dari kesadaran dan pengetahuan; ataukah ini hanya sebatas bentukan
dari konsepsi-konsepsi yang berada dalam pikiran kita –dalam artian bahwa
pikiranlah yang menjadi pembenaran atas realitas?
Dalam aliran
meterialsme dan teologi, diajukan
pertanyaan sebagai berikut: “jika sekiranya kita membenarkan kenyataan objektif
alam ini, apakah kita akan berhenti pada
objektivitas pada batas-batas materi yang terindrai, yang merupakan sebab umum
dagi semua fenomena eksistensi dan maujud, yang termasuk didalamnya kesadaran dan
pengetahuan; ataukah kita melangkah melampauinya menuju sebab yang lebih tinggi,
yaitu sebab yang abadi dan tak terhingga,
sebagai sebab primer bagi apa yang kita
ketahui atas alam semesta ini secara menyeluruh?”
Konsep tentang realitas
yang menganggap bahwa materi adalah pondasi primer atas keberadaan sesuatu, ini
yang disebut dengan aliran
realistis-materialistis . dan yang
melampaui materi menuju sebab yang derada diatas spirit dan alam secara
sekaligus, ini adalah aliran realistis-teologis. Jadi, ada tiga konsep tentang alam : idealisme, realisme-materialisme dan
realisme-teologis. Idealisme dapat
diungkapkan oleh spiritualisme, karena
ia menganggap spirit atau kesadaran sebagai pondasi primer atas keberadaan
sesuatu.
Koreksi atas Beberapa Kesalahan
Pertama, anggapan
mereka mengenai antara teologis dan meterialisme sebagai ungkapan pertentangan
antara idealisme dan realisme. Mereka tidak membedakan antara dua permasalahan
tersebut. Klaim bahwa konsep filsafat tentang
alam adalah salah satu dari idealisme dan materialisme. Akibatnya, perbincangan tentang kenyataan alam hanya
sebatas dua sudut pandang. Jika anda
menerangkan alam secara konseptual, dan
percaya bahwa konsepsi adalah sebagai sumber realitas, maka anda adalah seorang idealis. Jika anda menolak idealisme yang bersipat
subjektif, dan mempercayai adanya
realitas di luar ke-aku-an, maka anda
tidak mempunyai pilihan lagi, anda akan
disebut sebagai materialisme. Dan anda
yakin bahwa materi adalah prinsip primer dan bahwa pikiran dan kesadaran
hanyahad sebatas refleksi-refleksi tentangnya dan dalam tingkat-tingkat
tertentu akan perkembangannya.
Hal
ini sebagai telah kita ketahui, sama
sekali tidak sesuai dengan fakta. Realisme tidak terbatas pada konsep
materialisme dan idealisme saja, atau
subjektivisme bukanlah lawan satu-satunya dari materialistis-filosofis. Tetapi. Dalam realisme terdapat konsep lain untuk
mengungkap kenyataan alam ini, yaitu
realisme-teologis, yang meyakini
realitas eksternal dari dunia dan alam. Spirit (kesadaran) dan meteri menurut konsep
teologis ternisbahkan kepada sebab yang berada diluar dunia dan alam.
Kedua, tuduhan sementara penulis
terhadap konsep teologis yaitu bahwa konsep teologi itu membekukan prinsip
ilmiah dalam dunia dan mengeliminasi hukum dan peraturan-peraturan alam yang
diungkapkan ilmu prngetahuan . konsep
teologi dalam tuduhan mereka mengaitkan setiap penomena dan maujud dengan
konsep teologi. Sebenarnya, konsep
teologi tentang alam tidak berarti tidak membutuhkan sebab-sebab alamidan
menolak fakta-fakta ilmiah yang benar. Akan tetapi aliran teologis menganggap Tuhan
sebagai sebab yang berada di luar alam dan memaikan rangkaian mata rantai agen
dan sebab kekuatan di atas alam dan materi.
Ketiga, spiritual mendominasi idealisme
dan teologi. Sehingga spiritualisme
dalam konsep teologis mulai tampak memiliki makna yang sama dengan makna konsep
idealisme. Tetapi kita harus mengetahui
bahwa yang dimaksud dengan spiritualisme dalam konsep idealis adalah alam yang
bertentangan alam material yang terindrai, yaitu alam kesadaran, pengetahuan dan ke-aku-an. Adapun dalam
artian teologis adalah cara melihat realitas sebagai suatu keseluruhan bukan
sebabai alam tertentu yang bertentangan dengan alam material. Jadi, spiritualisme dalam artian teologis adalah
suatu metode untuk memahami realitas.
Penutup
Tidak ada yang harus diakhiri dan
sekaligus ditutup, karena semuanya belum lah selesai, karena realitas yang
sejatinya secara totalitas belumlah terungkap. Realitas akan selalu
diperbincangkan dan diperdebatkan, dan akan selalu memunculkan sesuatu yang
baru, karena realitas hidup dan realitas dunia pemikiran akan selalu
berdialektis. Dan semuanya yang terjadi akan selalu di luar rencana. Karena bisa
dimungkinkan realitas bukan milik privasi per individu, dan bukan pula milik
bersama secara komunal. selama masih bisa dipikirkan, pikirkanlah. . .! Sungguh beruntunglah Mahasiswa Aqidah
filsafat,di Ushuluddin sebagai tanah yang dijanjikan, kita dituntut untuk
mendapatkan kesadaran dan tanggung jawab yang sangat besar, dalam rangka mengungkap
dan menghadirkan kebenaran realitas.
Bagi mahasiswa Filsafat,Berfikir secara
filosofis itu memanglah penting. . .tapi,
Yang Penting Ushuluddin. . . !!!
Wallahu
A`lam bi al-Shawầb
Raferensi
Hanafi,
A, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1976.
Langeveld,
Menuju Pemikiran Filsafat, Tejemahan
G. J.Claessen. Jakarta: PT. Pembangunan.
Madjid,
Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1994.
Shadr,
Muhammad Baqῑr, Falsafatuna, Terjemahan
M. Nur Mufid bin Ali, Bandung: Mizan, 1991.
[1] .NurcholisMadjid,
Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994). h. 19.
[2].
Sayyed
Hussein Nashr “Prakata” dalamFalsafatuna,
terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan, 1991).
[3].
Ulama
yang dijadikan otoritas rujukan tertinggi dalam madzhab Syi`ah
[4].
Biografi Muĥammad
Baqῑr al-Shadr ditulis dalam bukunya Falsafatuna, terj. M. Nur
Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan, 1991), h. 11.
[5].
Ibid, h. 12.
[6].
Muĥammad
Baqῑr al-Shadr , Falsafatuna, terj. M. Nur
Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan, 1991), h. 107-110
[7].
Muĥammad
Baqῑr al-Shadr , Falsafatuna, terj. M. Nur
Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan, 1991), h. 139-142.
0 komentar:
Post a Comment