Sangat manusiawi jika suatu
individu menginginkan suatu yang terbaik untuk dirinya sendiri, tindakan yang
sangat bijak jika seorang individu berkeinginan untuk mencapai kondisi yang
lebih baik lagi. Maka dengan itu maka perlunya ada pembanding, apakah
pembanding dengan yang sekelas ataukah pembanding dari pengalaman sebelumnya?
Berbicara dengan pembanding maka erat hubunganya
dengan nilai setandar atau tolak ukur yang akan di jadikan acuan, misalnya
tolak ukur pada siswa SMA, siswa SMA diyatakan lulus dari sekolah jika siswa
tersebut bisa melewati UN dengan nilai minimal yang di tetapkan, misalnya
minimal rata-rata nilai kelulusan adalah 7, dengan demikian siswa yang nilai UN–nya lebih dari 7 maka diyatakan lulus.
Penerapan setandar semestinya disesuaikan dengan
tujuan pendidikan, jika tujuan setandarisasi untuk evaluasi proses. Bukanlah menjadi
tujuan pencapayain pendidikan. Karena hasil dari pendidikan dilihat dari pasca
pendidikan dan perubahan sipat dukan dari pengumbulan komulatip angka. Namaun apa yang
terjadi jika komulatip-komulatip angka menjadi tujuan itu sendiri?
Mau Di Bawa Kemana Nasib Kampus
ini?
Jika benar isu, syarat untuk kelulusan keperawatan
tidak lagi menyusun karya tulis ilmiah tetapi dengan melewati mekanisme tes
yang, dengan menjawaban soal-soal multiplechoice,
sudah bisa dipastiakan soal seperti itu pasti bersipat mengecoh yang akan membuat
seorang mahasiswa keliru dengan jawabanya.
Keadaan ini juga diperparah dengan kondisi doktrinal
mahasiswa yang berpikir pragmatis haya memikirkan dirinya sendiri, mahasiswa
yang seharusnya membawa perubahan kepada bangsa dan negara. Terbukti dari hasil
perbincangan 10 responden di kampus kami seluruhnya mengatakan kuliah guna
mendapatkan pekerjaan. Ironi bukan dengan fungsi tridarma perguruan tinggi,
jika kaum integensi sudah kehilangan
fungsi sosialnya dan berdiam diri dalam keadaan negara yang kalut malut, dan
membutuhkan pemberharu bangsa. siapa yang akan bergerak lagi untuk
mengatasinya? maka tinggal tunggulah kehancuran!!!!!
Permasalah-permasalah diatas akan mempengaruhi sistem
pendidikan di kampus yang semakin pragmatis. Dengan adaya sistem tes untuk
syarat kelulusan maka mahasiswa tidak lagi dilatih untuk meningkatkan daya
analitis dan kermampuan berpikir kritis bisa dipastikan menurun karena
mahasiswa haya disibukan dengan, belajar trik cara-cara cepat mengerjakan soal.
Atau memanipulasi soal. Integelensi mahasiswa tidak lebih dari daya ingat dan
kemampuan mengulang, mahasiswa yang memiliki kemampuan seperti inilah yang
lebih memililki pengakuan, bukan mahasiswa-mahasiswa inovator, jika keadaan pendidkan
masih seperti ini maka indonesia masih akan menjadi negara konsumen.
Mungkin saya adalah beberapa dari sekian bayak orang
yang berdiam diri menyikapi isu tersebut maka dengan ini mudah-mudahan apa yang
saya tulis dapat mengginspirasi orang-orang yang membikin kebijakan tersebut,
bukan haya kemampuan integelensi untuk memilih dan menjawab soal a,b,c,d, dan
e. seorang perawat juaga seharusnya mempunyai kemampuan dalam aspek sepiritual. Aspek sepiritual
dalam hal ini bukan menyoal agama, melainkan menciptakan kebaikan bersama, dan
kebaikan bagi komunitasnya. Dengan kata lain cara berpikir kritis dan daya
berpikir analitis sangatlah diperlukan untuk membawa perubahan-perubahan ke
arah yang lebih baik.
Dengan demikian fungsi kampus ini bukan sekedar untuk
mencetak mahasiswa-mahasiswa yang mampu melewatkan ujian kompotensi sajah, idealnya seperti robot yang beryawa. kampus ini haruslah mencetak mahasiswa-mahasiswa yang militan yang dapat membirikan perubahan
kepada bangsa dan kelompoknya(perawat)).
HIDUP MAHASISWA……………..!!!!!
HIDUP RAKYAT INDONESIA……….!!!!!
0 komentar:
Post a Comment